Kamis, 4 Agustus 2020 – Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) bersama Lembaga Pengembangan Ilmu Dasar dan Bahasa (LPIDB) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengadakan Webinar dengan tema Diseminasi Program Revitalisasi dan Institusionalisasi Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Webinar yang diadakan secara daring (dalam jaringan) ini, menghadirkan Prof. Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, lalu Dr. Yudi Latif, Ph.D. (pengamat politik dan kebangsaan) dan Dr. Ahmad Muhibbin (Ketua Asosiasi Prodi PPKn LTK PTM).
Haedar Nashir sebagai pembicara kunci mengatakan, pemerintah yang berusaha menjadikan RUU HIP sebagai Undang-Undang, berarti ingin mengulang kesalahan yang telah dilakukan oleh rezim Orde Lama maupun Orde Baru. Orde Lama memiliki perangkat kelembagaan yang sangat lengkap untuk mengawal jalannya Pancasila.
“Orde Baru juga memiliki Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7), sebuah institusi di bawah naungan kekuasaan otoritatif yang sangat super power. Namun hal tersebut justru menjadi persoalan bagi bangsa,” ungkapnya.
Ia juga mengritik orang-orang yang senang menjadikan Pancasila sebagai simbol dan slogan semata. Slogan “Saya Pancasila”, “gotong-royong”, “NKRI harga mati”, dan lain-lain, menurutnya bagus pada level atributif, namun perlu dipertanyakan dalam tataran realitas.
Dicontohkan soal penolakan terhadap jenazah Covid-19 oleh masyarakat. Menurutnya, hal ini menjadi bukti bahwa nilai gotong-royong yang sering diserukan, tidak berlaku sama sekali di masyarakat. Bahkan jauh dari nilai gotong-royong dan nilai Pancasila yang lain. Dalam relasi Muhammadiyah dan Pancasila, Haedar mengatakan bahwa Muhammadiyah memiliki konsepsi negara darul ‘ahdi was syahadah. Maknanya, dalam konteks moderasi ideologi, Muhammadiyah ingin mengunci Indonesia dengan negara Pancasila, yang ideologi lain tidak boleh menumpang di dalamnya.
“Setiap kita membuka ruang, ideologi-ideologi yang ada akan selalu muncul. Masa lampau ingin dihadirkan kembali. Tetapi Muhammadiyah tidak berhenti di situ. Tidak cukup dikatakan bahwa Pancasila sebagai common agreement. Syahadah berarti bahwa Muhammadiyah berpendapat bahwa masyarakat harus turut membangun Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan,” imbuhnya.
Ahmad Muhibbin menyampaikan materi berjudul “Pancasila sebagai Laku: Peran Muhammadiyah dalam Pendidikan”. Ia menyampaikan, kewajiban menjalankan misi rahmatan lil ‘alamin terus-menerus dilakukan oleh Muhammadiyah. Menurutnya, pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh Muhammadiyah dapat menjadi potret pengamalan Pancasila sebagai laku. Menurutnya, Muhammadiyah dan umat Islam harus memposisikan diri sebagai khoiru ummah (umat terbaik) dan ummatan wasathan (umat pertengahan). “Muhammadiyah dan umat Islam harus berkomitmen dalam menjaga kedaulatan rakyat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelas Muhibbin.
Selanjutnya Yudi Latif mengatakan, negara-negara dengan identitas nasional yang kuat biasanya memiliki daya resiliensi terhadap cobaan. Identitas nasional dibangun di atas tiga hal. Pertama, kesanggupan untuk memilih kesadaran sejarah untuk terhubung dengan warisan masa lalunya. Kedua, nilai-nilai bersama. Nilai-nilai moral publik yang membuat keragaman menjadi suatu ikatan sosial. Ketiga, dibangun oleh kebanggaan bersama sebagai bangsa. “Negara yang punya banyak pencapaian dan kebanggaan biasanya akan lebih solid,” pungkasnya.