Di tengah dunia yang berubah cepat dengan tantangan serta krisis semakin kompleks, kajian akademik ilmu-ilmu sosial dan humaniora seharusnya juga berubah dan beradaptasi secara tepat. Merespon akan hal tersebut, Prof. Dr. M. H. Amin Abdullah melahirkan karya buku baru berjudul: “Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer”.
Buku ini merupakan hasil kerja sama penerbitan IBTimes (Islam Berkemajuan Media Digital) dengan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta (PSBPS UMS). Sebagai wujud komitmen terhadap pengembangan UMS sebagai “Center of Excellence” dari wacana keilmuan dan keislaman, PSBPS UMS membedah buku tersebut melalui forum webinar/daring pada tanggal 16 November 2020 pukul 15.00-17.30 WIB.
Kolokium kali ini menghadirkan 3 narasumber, yakni:
- Dr. H. M. Amin Abdullah (Penulis Buku “Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer”, Guru Besar dalam Ilmu Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
- M. Abdul Fattah Santoso, M.Ag. (Dosen Fakultas Agama Islam UMS sekaligus Kepala Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta).
- Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, MA, M.Phil. (Guru Besar Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada).
Kolokium ini di-moderatori oleh Dra. Yayah Khisbiyah, M.A. selaku Dosen di Fakultas Psikologi UMS sekaligus sebagai Direktur Eksekutif PSBPS UMS. Yayah mengawali acara dengan memberikan ucapan terima kasih kepada para narasumber karena berkenan mengisi acara. Kemudian kepada rektor UMS karena telah mendukung acara. Serta kepada para peserta kolokium, dimana mereka berkenan mengikuti acara meski acara kolokium ini tidak merupakan syarat akademik tertentu. Yayah menyimpulkan bahwa peserta kolokium ini bersifat organik dan patut diapresiasi.
Sebagai pengangtar, Yayah menjelaskan bahwa pada kolokium kali ini akan membedah buku karya terbaru Prof. Amin Abdullah. Buku tersebut, menurut Yayah, meski berisi tentang metode studi agama dan studi islam, namun displin imu lain merasakan resonansi yang kuat. Sehingga share-interest dan share commitment yang kuat untuk juga mengembangkan kajian multidisplin, interdisiplin, dan transdisiplin.
Selanjutnya, Yayah memperkenalkan PSBPS kepada para peserta, lahir (pada tahun awal 2000an) dari kegelisahan para pendirinya, seperti: M.A. Fattah Santoso, Syamsul Hidayat, Zakiyudin Baidhawi, M. Thoyibi, dan saya sendiri (Yayah), menganggap perlu adanya pusat studi yang mampu mengumpulkan resorce para akademisi yang sekaligus praktisi dalam berbagai disiplin ilmu persis untuk mengembangkan secara praksis dan real pemikiran-pemikiran Prof. Amin Abdullah.
Prof. Dr. Sofyan Anif, M.Si.: Pendekatan Komprehensif Dibutuhkan untuk Persoalan Bangsa yang Kompleks dan Multidimensional
Pada sesi sambutan acara, Prof. Dr. Sofyan Anif, M.Si. selaku Rektor Univeritas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengatakan bahwa pendekatan multi, inter, dan transdisiplin saat ini sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia ditengah menghadapi persoalan yang tingkat kompleksitasnya semakin tinggi.
Menurutnya, buku yang ditulis oleh Prof. Amin Abdullah ini pada level aplikatifnya sudah diawali oleh gerakan yang dilakukan Muhammadiyah. Penyebutan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern, tercermin dalam beberapa solusi atas persoalan yang diberikan oleh Muhammadiyah tidak pada satu bidang keilmuan, tetapi sudah melibatkan bidang keilmuan lain.
“Ini tentunya akan memberi solusi yang lebih implikatif, solusi yang bisa dirasakan oleh banyak pihak. Apalagi kalau kita kaitkan dengan kondisi sekarang, bangsa dan seluruh dunia ini menghadapi pandemic covid-19 ini sudah barang tentu membutuhkan pemikiran seperti ini.” ungkapnya.
Kewajiban Melihat Realitas Secara Komprehensif
Saat ini, tidak bisa dalam melihat realitas hanya dari satu sudut pandang keilmuan, melainkan harus komprehensif. Diharapkan dari pemikiran ini bisa melahirkan turunan pendekatan mutakhir yang bisa diimplementasikan ke dalam berbagai dimensi kehidupan.
“Persoalan bangsa kita tidak hanya semakin kompleks, tapi juga sekaligus dimensi yang multikultural, multietnik, yang itu semua membutuhkan kearifan dalam pendekatannya.” Imbuh Anif.
Menurutnya, Muhammadiyah disebut sebagai organisasi Islam modern juga tidak bisa dilepaskan dari sumbangan pemikiran para akademisi yang berkhidmat didalamnya. Kesegaran pemikiran para akademisi yang dimanifestasikan dalam sebuah gerakan di Muhammadiyah akan melahirkan sebuah kebaruan dalam pranata sosial.
Dr. M. Abdul Fattah Santoso, M.Ag.: Empat Langkah Membangun Masyarakat Ilmu
Saat ini, kehidupan berubah dengan sangat cepat. Kehidupan menjadi lebih kompleks dan penuh masalah seperti kerusakan lingkungan. Kehidupan juga mengalami disorientasi seperti materialisme, hedonisme, radikalisme, ateisme, dehumanisasi, dan lain-lain.
Fattah Santoso menyebut bahwa muncul penawaran solusi untuk menyelesaikan problem-problem di atas dengan cara melakukan revitalisasi ilmu dengan perubahan pendekatan dari intradisiplin ke multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Penawaran ini muncul dari M Amin Abdullah, penulis buku yang sedang dibedah.
“Buku Prof Amin ini, kalau digambarkan, ada perubahan ilmu dari linier, ke multidisiplin, berlanjut ke interdisiplin, hingga terakhir transdisiplin,” jelasnya.
Ia menyebut bahwa ada beberapa dosen yang sulit berubah. Padahal masyarakat ilmu yang menggunakan pendekatan multi, inter, dan transdisiplin (MIT) perlu melakukan rekonstruksi secara terus-menerus. Sehingga paradigma ini akan berhadapan dengan status quo keilmuan dan kesombongan intradisiplin. Kesombongan intradisiplin berarti masing-masing ilmu merasa paling hebat, sehingga harus didekonstruksi.
Membangun Masyarakat Ilmu dengan Paradigma MIT
Ada beberapa langkah membangun masyarakat ilmu dengan paradigma multi, inter, dan transdisiplin.
- Membangun kelembagaan dan asosiasi. Masyarakat llmu harus memiliki kelembagaan yang mendukung.
- Membangun kolaborasi. Harus ada kerjasama antar lembaga.
- Membangun etos keilmuan.
- Membangun kode etik pengembangan ilmu.
Fattah Santoso memberikan contoh asosiasi lembaga yang bisa dibentuk, yaitu: Asosiasi Keilmuan Islam UIN se Indonesia, Asosiasi Keilmuan MIT PTKI-PTN/S-IIUM-USIM, Asosiasi Imuwan/Dosen MIT, Mendirikan Prodi S1-S3 berorientasi MIT, Pusat Penelitian MIT, Pusat Pengabdian kepada Masyarakat MIT, Pusat Publikasi MIT, dan lain-lain.
“Mengapa kemajuan ilmu di masa ‘Abbasiyah itu tidak terus sampai sekarang? Sementara di Eropa bisa bertahan sampai sekarang? Salah satu sebabnya adalah tidak adanya institusionalisasi dari masyarakat ilmu. Dulu itu orang bisa pintar karena otodidak dan magang. Tidak ada lembaganya,” jelasnya.
Membangun kolaborasi bisa dilakukan lintas kelembagaan atau asosiasi, kolaborasi dalam pendidikan MIT, kolaborasi dalam penelitian MIT, kolaborasi dalam pengabdian masyarakat MIT, kolaborasi antar stakeholder berorientasi MIT, kolaborasi dalam jurnal dan publikasi MIT, dan kolaborasi dalam penyelenggaraan kongres MIT.
Sementara itu, menurut Fattah Santoso, cara membangun etos keilmuan adalah dengan membangun martabat manusia berdimensi planet dan kosmik, mengakui bumi sebagai rumah bersama. Setiap manusia harus terkait dengan suatu kebangsaan, namun sebagai penduduk bumi ia juga seorang trans-bangsa.
“Secara historis, belum pernah terjadi sebelumnya, pertumbuhan ilmu justru meningkatkan ketidaksamaan manusia. Ini yang harus dicarikan solusi. Berbagi pengetahuan bermuara pada berbagi pemahaman yang berbasis pada penghargaan absolut terhadap liyan (other) kolektif dan individual,” imbuh Fattah Santoso mengutip The Charter of Transdisciplinarity (1994).
Menurutnya, cara membangun kode etik keilmuan dapat dilakukan dengan cara menolak sikap yang anti dialog dan diskusi apapun alasannya, baik alasan ideologis, ilmiah, relijius, ekonomi, politik, atau fiosofis. Masyarakat juga harus menjunjung tinggi ketelitian berargumentasi yang berbasis data.
Selain itu, untuk membangun kode etik keimuan, manusia harus menjunjung tinggi keterbukaan, termasuk penerimaan yang tidak diketahui, tidak diharapkan, dan tidak diramalkan. “Kita harus menjunjung tinggi toleransi yang berupa pengakuan terhadap gagasan dan kebenaran yang berlawanan dengan yang dimiliki. Terbuka terhadap mitos dan agama beserta pemeluknya,” paparnya.
Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah: Tiga Kata Kunci Hubungan Sains dan Agama
Perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Islam memiliki kecenderungan untuk melakukan kompartementalisasi disiplin ilmu. Antar disiplin ilmu membentuk dinding pemisah. Ketika hal ini masuk ke studi agama, khususnya Islam, ini akan menjadi tantangan yang berat.
Amin Abdullah bertanya secara teoretis, “Apakah tidak bisa ketemu antara satu ilmu dengan ilmu yang lain? Apakah Kemendikbud dengan Kemenag tidak bisa bertemu?”. Dari pertanyaan tersebut, maka muncullah kegelisahan dalam diri Amin Abdullah. Ia kemudian mencurahkan kegelisahan ini dalam berbagai tulisannya sejak awal tahun 2000an.
Pada tahun 2019, Kementerian Agama menganggap bahwa hal ini menjadi penting sehingga Kemenag menerbitkan buku pedoman tentang integrasi-interkoneksi. “Maka, ketika Kemenag menangkap itu, kemasannya saya rubah menjadi inter, trans, dan multidisiplin,” imbuhnya.
Tiga Kata Kunci Hubungan Sains dan Agama
Amin Abdullah menekankan di dalam hubungan sains dan agama memiliki tiga kata kunci. Pertama, semi permiable, saling menembus satu sama lain. Ilmu fikih misalnya, tidak bisa merasa paling tinggi dan pemegang kebenaran. Begitu juga antropologi dan semua disiplin ilmu yang lain. Antar disiplin ilmu tidak memiliki tembok. Misalnya lagi psikologi dengan kalam.
Pria kelahiran Pati ini menyebut tidak mengenalnya antar disiplin ilmu menandakan adanya kompartementalisasi yang berbahaya. Hal ini tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, misalnya permasalahan pandemi Covid-19.
“Sekarang ini ada 17% orang Indonesia tidak percaya dengan adanya Covid-19, dan itu based on religion. Padahal ini persoalan religion and science. Tidak hanya religion semata,” terangnya.
Kedua, intersubjektif testability. Antar ilmu harus saling mengkritik. Ilmu agama tidak berada di atas segala-galanya dan tidak bebas kritik. Ketiga, creative imagination. Creative imagination hanya ada jika ada pertemuan yang ketat antar disiplin. Pertemuan antar disiplin akan menyebabkan active negotiation of knowledge.
Penulis buku ini menyebut bahwa multidisiplin, transdisiplin, dan interdisiplin akan membentuk akhlak yang mulia, yang dicita-citakan oleh semua orang. Tetapi ketika mindsetnya tidak ditembus ketiga hal di atas, maka yang terjadi adalah politik identitas.
Ada semacam evolusi dari ‘Ulumuddin menjadi Islamic thought yang meskipun belum melibatkan penelitian empiris, tetapi sudah lebih sistematis, logis, dan rasional. Berbeda dengan perkembangan ‘Ulumuddin sebelumnya. Ketika Fazlurrahman menulis Islam and Modernity pada tahun 1982, ia mengatakan bahwa ‘Ulumuddin lama akan out of date jika tidak ditambah dengan new theology, law and ethic, philosophy, dan social sciences. “ ‘Ulumuddin, jika tidak didialogkan dengan keempat ilmu itu, maka ‘Ulumuddin akan kadaluarsa,” tutupnya.