Damai dalam Kalimah Sawa’

Pluralitas merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Hakikat pluralitas adalah potensi yang dapat menjadi rahmat tetapi dapat juga menjadi laknat bagi alam se­mes­ta, tergantung pada cara manusia menge­lolanya.

Pluralitas yang dikelola dengan baik dapat men­jadi rahmat karena pluralitas menumbuhkan ke­ingin­tahuan, mobilitas, apre­siasi, sa­ling pengertian, koeksis­tensi dan ko­laborasi. Pluralitas men­do­rong manu­sia untuk menge­tahui ling­kung­an­nya dan lingkungan yang lebih besar, se­hingga manusia bergerak dari suatu tempat ke tempat lain. Dengan ke­ingintahuan ini, ma­nusia dapat mene­mukan per­samaan dan perbeda­an iden­titas –baik antarindividu, an­tar­ke­lom­pok masyarakat, antar­etnik, an­tar­agama maupun antar­bangsa dan antarnegara. Menge­nali persamaan dan per­bedaan dapat menumbuhkan apresiasi dan saling penger­ti­an serta menumbuhkan kesadaran untuk me­lakukan tolong-menolong dan bekerja sama.

Namun demikian, pluralitas yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi laknat karena pluralitas dapat memun­culkan berbagai prasangka. Prasangka yang tidak didasari oleh apresiasi merupakan ke­curigaan. Pluralitas yang dipe­nuhi de­ngan kecurigaan ha­nya membu­ah­kan iri hati dan ke­cemburuan. Iri hati dan kecemburuan berlebihan dapat berkembang men­jadi rasa permu­suhan dan mengha­silkan konflik, per­pecahan dan keru­sakan.

Pusat Studi Bu­daya dan Peru­bah­an Sosial (PSB-PS) Universitas Mu­ham­­ma­di­yah Sura­karta (UMS) me­nya­kini bahwa plu­ralitas dapat dike­lo­la dan bahwa me­nge­lola pluralitas dengan bijak merupakan tanggung jawab setiap individu. Se­tiap individu mem­punyai tang­gung jawab untuk meng­­­­ubah sua­sana interaksi dari pra­sangka menjadi sa­ling pengertian dan apre­sia­si. Setiap indi­vi­du berkewajiban me­laku­kan berbagai upaya dan memberikan kon­tribusi, betapa pun ke­cilnya, pada perubah­an lingkungan, baik fisik maupun sosial, agar menjadi lebih baik, sehingga lebih livable dan comfortable.

Untuk dapat mengelola pluralitas, seorang individu harus mampu mentransendensikan dirinya ke dalam ke-“aku”-an yang lebih luas dalam level yang lebih ting­gi dan melampaui batas-batas golongan, etnik, agama, bangsa atau negara. Kemampuan transendensi dapat diperoleh melalui belajar dan latihan. Oleh karena itu, siapa pun dapat belajar dan berlatih untuk mentran­sendensikan dirinya, dan setiap orang yang berusaha un­tuk mentransendesikan dirinya sebenarnya berada dalam sebuah proses menjadi “aku” yang lebih tinggi.

Keyakinan inilah yang mendorong PSB-PS untuk mem­berikan kontribusi dalam bentuk wacana, yang memungkinkan berkumpul dan bertemunya berbagai pihak untuk berbagi pan­dangan, pemikiran dan aspi­rasi, sehingga bentuk-bentuk pra­sangka dapat dieli­minasi. Untuk tujuan itulah PSB-PS mener­bitkan Bule­tin Kalimatun Sawa’.

Istilah “kalimatun sawa’” diambil dari bahasa Arab. Secara harfiah, “kalimatun sawa’” berarti “kata yang sama”, atau “kata sepakat”, atau “titik temu”. Pe­mi­lihan nama Kalimatun Sawa’ bagi buletin ini didasarkan atas harapan bahwa buletin ini dapat menjadi forum komu­nikasi dan pertemuan pandangan serta gagasan bagi berbagai anggota masyarakat dengan latar bela­kang yang beragam tanpa kooptasi yang satu atas yang lain. Kalimatun Sawa’ diterbitkan atas dasar kesadaran bahwa pluralitas merupakan sesuatu yang tak tere­lak­kan dan bahwa keragaman tak harus menjadi kesera­gaman. Dalam Kalimatun Sawa’ setiap individu adalah manusia merdeka yang berhak sepakat untuk tak sepakat.