Multikultural Sebagai Anugerah

Pasti ada alasan mengapa Tuhan menciptakan manusia dalam berbagai suku-bangsa dengan kekhasan masing-masing, sebagaimana halnya Tuhan menciptakan keunikan informasi genetik (DNA), sidik jari dan sorot mata setiap individu.

Salah satu rahasia yang dikabarkan oleh Tuhan kepada manusia di balik penciptaan manusia dalam berbagai suku-bangsa adalah “li ta`ârafû” yang sering diterjemahkan menjadi “untuk saling mengenal”. Ungkapan “ta`ârafû” merupakan bentuk infleksi dari kata dasar “`arafa” dengan wazan “tafâ`ala” yang memiliki pengertian resiprokal, yang sering diterjemahkan menjadi “saling tahu”, “saling mengetahui”, “saling mengenal”, “saling memahami” atau “saling mengerti”. Kata-kata lain yang memiliki pengertian hampir sama dan bisa diinfleksikan serupa adalah “ta`âlamû” dari kata dasar “`alima” atau “tafâhamû” dari kata dasar “fahima”.

Yang perlu dikaji adalah bahwa Tuhan secara sengaja memilih diksi “ta`ârafû” daripada leksika lainnya, dan pertanyaan yang dapat diderivasi dari pemilihan diksi itu adalah apakah tafsir terhadap ungkapan “ta`ârafû” bersifat tunggal dan apakah pengertian yang terkandung dalam konsep tersebut terbatas pada suatu ranah tertentu.

Sebutan “`arif” bagi para sufi menunjukkan bahwa makna kata dasar “`arafa” lebih dari sekedar mengetahui secara kognitif, dan barangkali alasan itu pulalah yang menyebabkan penggunaan kata “arif” dalam bahasa Indonesia seringkali disejajarkan atau dikombinasi dengan kata “bijaksana”. Para sufi disebut arif karena mereka dianggap mengetahui sesuatu tidak hanya pada tingkat intelektual atau eksperiensial, melainkan sampai ke tingkat “ma`rifat”, yaitu mengerti “hakikat” sesuatu dalam realitas ultimnya. Itulah sebabnya, terdapat ungkapan populer di kalangan sufi “man `arafa nafsahu fa qad `arafa rabbahu” (barangsiapa mengerti dirinya sendiri, niscaya dia mengerti Tuhannya”) karena bagi mereka untuk dapat mengerti tentang Tuhan tak cukup dengan spekulasi intelek dan persepsi inderawi, melainkan harus menggunakan modus intuitif (`irfani).

Bila demikian halnya, maka keanekaragaman jelas lebih dari sekedar diskursus atau wacana, melainkan bagian dari bentangan “ayat kauniyah”, sebagai “system of signs” (sistem tanda) yang perlu dipelajari oleh sekalian umat manusia. Bila demikian halnya, maka pengertian “li ta`ârafû” meliputi suatu spektrum makna yang tidak hanya berada dalam domain kognitif, melainkan juga mencakup domain afektif dan psikomotorik, sehingga “li ta`ârafû” mencakup rentang dari aspek pengetahuan, pandangan atau persepsi, perilaku, dan bahkan “ideologi”.

Dengan demikian, pengertian yang dapat diambil dari “li ta`ârafû” adalah bahwa keanekaragaman merupakan sesuatu yang perlu diketahui (dalam ranah kognitif), bahwa keanekaragaman merupakan sesuatu yang perlu diapresiasi atau dihargai (dalam domain afektif), dan bahwa keanekaragaman merupakan sesuatu yang perlu dijalani (dalam domain psikomotorik). Konsekuensinya adalah bahwa “ta`ârafû” merupakan sesuatu yang “ma`rûf”, yaitu bahwa terdapat kebajikan di dalam bentuk-bentuk tindakan yang merupakan ekspresi dari “ta`ârafû”, baik dalam domain kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

Satu pelajaran kunci yang dapat diambil dari keanekaragaman adalah, setiap komunitas, baik “syu`ûban”, “qabâila”, maupun “jama`ah” adalah setara dengan yang lain. Tak ada komunitas yang lebih unggul dalam arti sesungguhnya atas komunitas lainnya. Kekhasan suatu komunitas, baik secara fisik, sosial, ekonomi, politik, maupun budaya hanyalah bagian dari teks yang perlu saling dikaji. Harga sejati setiap “nafs” (individu) atau komunitas terletak pada takwa masing-masing.

Akhirnya, mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan bersama dengan cara-cara yang baik bisa jadi adalah suatu “ijtihad sosial”; dan selebihnya “wallâhu a`lam”.